Permasalahanyang timbul adalah berdasarkan larvanya, spesies kupu-kupu apa sajakah yang terdapat di hutan Evergreen TN. Baluran, berapa indeks keanekaragaman jenis dan hostplant apakah yang paling disukai oleh kupu-kupu tersebut? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis kupu-kupu di hutan Evergreen TN. KawasanEkosistem Leuser (KEL) yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser dan Hutan Lindung serta Hutan Masyarakat merupakan Warisan Dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO Dasar Hukum Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 811/Kpts/UM/1980 dengan luas 792.675 ha. s5jFq1H. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu kawasan konservasi yang berada di Aceh. Kawasan dengan luas lahan hektar ini mencakup berbagai tipe ekosistem, sehingga berbagai jenis satwa dan tumbuhan yang dapat dijumpai sangat beragam. Bentangan alam di TNGL juga sangat mempesona, terlebih lagi beberapa area kawasan ini pada mulanya adalah tempat wisata. Hal tersebut menjadi nilai tambah tersendiri, sehingga sayang untuk melewatkan panorama taman nasional ini. Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Kondisi Alam Taman Nasional Leuser 1. Letak dan Topografi 2. Iklim dan Hidrologi 3. Ekosistem dan Zonasi Flora dan Fauna Taman Nasional Leuser 1. Flora 2. Fauna Kegiatan dan Destinasi Wisata 1. Sungai Alas 2. Hutan Rekreasi Gurah 3. Hutan Sekundur 4. Suaka Margasatwa Kluet 5. Stasiun Rehabilitasi Orangutan 6. Gunung Leuser 7. Pendakian Gunung Kemiri 8. Gunung Simpali 9. Gunung Perkinson 10. Lau Pengurukan Sejarah Taman Nasional Gunung Leuser Sebenarnya pengusulan pembentukan taman nasional di kawasan Aceh Barat sudah terjadi sejak lama. Diketahui bahwa pada tahun 1928 FC Van Heurn telah mengusulkan daerah Alas, Kluet, Sungai Tripa, dan seluruh tipe ekosistem seluas total hektar kepada pihak Belanda selaku pemerintah kala itu. Pada tahun 1934 A Ph Van Ahen, Gubernur Aceh, mendirikan Suaka Alam dari Gunung Leuser seluas hektar. Setelah itu kawasan konservasi di sekitarnya juga ditetapkan, yaitu Suaka Margasatwa Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Kluet, Suaka Margasatwa Langkat, dan Suaka Margasatwa Sikundur. Selanjutnya pada bulan Desember 1976 kawasan konservasi tersebut diperluas dengan menambahkan Suaka Margasatwa Kappi, Taman Wisata Sikundur, dan Taman Wisata Lawe Gurah. Tidak lama kemudian, status kawasan konservasi yang terdapat di Gunung Leuser kemudian menjadi Taman Nasional Gunung Leuser. Keputusan tersebut dikeluarkan berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian dengan menambahkan Hutan Lindung dan Hutan Produksi seluas hektar, sehingga total keseluruhan taman nasional menjadi hektar. Kondisi Alam Taman Nasional Leuser 1. Letak dan Topografi Secara geografis Taman Nasional Gunung Leuser terletak pada koordinat antara 02°55’ – 04° 05’ Lintang Utara dan 96° 30’ – 98° 35’ Bujur Timur. Sementara secara administratif kawasan ini berada di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo. Kelima kabupaten tersebut meliputi wilayah di dua provinsi, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Adapun kondisi topografi di taman nasional ini yaitu datar, berbukit, bergunung-gunung, sampai dengan curam. 2. Iklim dan Hidrologi Suhu udara rata-rata di Taman Nasional Gunung Leuser antara 21,1° – 27,5° Celcius dengan curah hujan berada pada kisaran – mm per tahun. Curah hujan paling tinggi berada di kawasan Leuser dan Simpali, sedangkan yang paling rendah di kawasan Lembah Alas yang hanya mm. Adapun musim penghujan berlangsung sepanjang tahun, tanpa kemarau yang berarti. Kelembaban udara di kawasan ini berada di antara 62% – 100% atau rata-rata per tahunnya 86,9%. Sungai yang mengalir di taman nasional ini yaitu Sungai Alas dan Sungai Mammas, serta anak sungai yang berada di deretan Leuser-Simpali dan juga Alas bagian barat. 3. Ekosistem dan Zonasi Beberapa tipe ekosistem yang ada di Taman Nasional Gunung Leuser yaitu ekosistem mangrove atau bakau, ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, ekosistem hutan tropis pegunungan, serta ekosistem pegunungan sub-alpin. Ada delapan zona yang diterapkan oleh pihak taman nasional dalam mengelola kawasan ini. Kedelapan zona tersebut adalah zona inti, zona riba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona tradisional, zona religi, zona khusus, dan juga zona abu-abu. Flora dan Fauna Taman Nasional Leuser Ada banyak sekali ragam flora dan fauna yang dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Leuser. Mulai dari spesies yang familiar dan kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, kelompok endemik Pulau Sumatera, sampai spesies yang tergolong langka dan hampir punah. 1. Flora Jumlah flora yang berhasil diidentifikasi di Taman Nasional Gunung Leuser lebih dari jenis tumbuhan. Flora tersebut juga bervariasi mulai dari pohon dengan buah yang dapat dikonsumsi hingga tumbuhan jenis langka. Steemit Kelompok tumbuhan dengan buah yang dapat dimakan antara lain dua spesies durian hutan Durio exyleyanus dan Durio zibethinus, rambutan hutan Nephelium lappaceum, jeruk hutan Citrus macroptera, duku Lansium domesticum, rambai Baccaurea montleyana, dan juga menteng Baccaurea racemosa. Selain itu juga ada rukem Flacourtia rukem, limus yang memiliki buah seperti mangga Mangifera foetida dan Mangifera guardrifolia. Semua spesies tersebut adalah sumber plasma nutfah yang memiliki prospek jangka panjang yang cerah untuk dikembangkan. Flora langka yang tumbuh di taman nasional yang berasal dari kawasan Gunung Leuser yaitu pohon payung raksasa Johanesteisjmania altifrons, liana dengan bunga parasit yang diameternya bisa mencapai 1,5 meter Rhizanthes zippelnii, dan juga Rafflesia atjehensis. Dapat pula dijumpai anggrek sepatu Paphiopedilum liemianum dan kantong semar Nepenthes sp.. 2. Fauna Tercatat ada lebih dari 127 jenis mamalia yang menghuni kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Sementara itu kelompok aves diketahui berjumlah 387 jenis dengan 350 spesies yang menetap. Bahkan juga diketahui ada sekitar 89 spesies satwa yang tergolongkan langka hidup di taman nasional ini. Pixabay Beberapa spesies langka tersebut adalah badak sumatera Dicerorhinus sumatrensis, orangutan atau mawas Pongo abelii, rusa sambar Cervus unicolor, kucing hutan Prionailurus bengalensis-sumatrana, dan siamang Hylobates syndactylus. Sementara itu ada pula kambing hutan Capricornis sumatraensis, rangkong Buceros bicornis, serta gajah Sumatera Eephas maximus-sumatranus dan harimau Sumatera Panthera tigris-sumatrae yang merupakan dua spesies endemik di Pulau Sumatera. Adapun satwa lain yang juga dapat dijumpai di Taman Nasional ini yaitu tupai Callosciurus albescens, kelinci Sumatera Nesolagus netscheri, ungko atau kedih Presbytis thomasi, dan tikus hoogerwerfi Rattus hoogerwerfi. Kelompok reptil yang paling banyak dijumpai di kawasan ini adalah spesies buaya Crocodillus sp. dan juga ular berbiasa. Adapula jenis ikan endemik yang hidup di Sungai Alas yaitu ikan jurung Tor sp., ikan ini memiliki ukuran panjang yang bisa mencapai 1 meter. Kegiatan dan Destinasi Wisata Ada banyak sekali obyek wisata yang dapat dikunjungi di Taman Nasional Gunung Leuser. Oleh sebab itu berbagai kegiatan pun dapat dilakukan dengan lebih menyenangkan di kawasan ini. Mulai dari kegiatan yang sederhana seperti pengamatan satwa, sampai yang cukup ekstrem seperti arung jeram dan mendaki gunung. 1. Sungai Alas Salah satu sungai yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser adalah Sungai Alas. Sungai ini biasanya digunakan oleh para pengunjung untuk melakukan olahraga arung jeram. Sambil berarung jeram menyusuri aliran air deras dan ganas yang menuju Kabupaten Aceh Selatan, pengunjung juga dapat menikmati pesona dari hutan tropis serta pemukiman tradisional masyarakat di tepian sungai. 2. Hutan Rekreasi Gurah Hutan Rekreasi Gurah atau juga biasa disebut sebagai Taman Wisata Lawe Gurah merupakan salah satu lokasi yang menarik untuk dikunjungi di taman nasional ini. Panorama yang dimiliki hutan ini sangat mempesona dengan berbagai jenis flora, danau, air terjun, lokasi pengamatan satwa, dan juga sumber mata air panas. Pihak pengelola wisata juga telah menyediakan trek khusus untuk pengunjung yang ingin trekking. Trekking dimulai di Gurah, kemudian berlanjut sampai ke sumber mata air panas yang berada di dekat Sungai Alas. Waktu yang dibutuhkan biasanya sekitar dua jam dengan jarak sejauh 5 km. Ada juga menara pandang yang dapat digunakan pengunjung mengamati kehidupan yang ada di hutan hujan Leuser. Selain itu jika pengunjung ingin menikmati sensasi hidup menyatu dengan alam, maka dapat berkunjung ke area perkemahan yang berlokasi di kawasan hutan atau dapat menginap di guest home. 3. Hutan Sekundur Selain Hutan Rekreasi Guruh, ada juga Hukan Sekundur yang berada di Sekundur, Langkat, Sumatera Utara. Kawasan seluas hektar ini memiliki gua alam serta panorama yang masih begitu alami. Apabila datang di waktu yang tepat, pengunjung dapat berjumpa dengan berbagai spesies satwa liar seperti gajah dan rusa. Selain itu, pengunjung bisa camping juga di kawasan sini. 4. Suaka Margasatwa Kluet Suaka Margasatwa Kluet merupakan kawasan yang didominasi oleh ekosistem hutan pantai seluas hektar. Oleh sebab itu kegiatan yang cocok dilakukan di sini adalah bersampan di sungai dan danau, menikmati panorama alam di pantai, serta menjelajahi gua alam. Meskipun begitu sebagai habitat harimau Sumatera, pengunjung dihimbau untuk berhati-hati. 5. Stasiun Rehabilitasi Orangutan Pusat rehabilitasi satwa langka orangutan ini memiliki luas sekitar 200 hektar dan berlokasi di antara Bahorok dan Bukit Lawang, Langkat, Sumatera Utara. Menariknya tidak hanya orangutan yang bisa dijumpai di sini, melainkan juga berbagai spesies dan kelompok primata lainnya 6. Gunung Leuser Gunung Leuser merupakan puncak gunung tertinggi yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, nama kawasan taman nasional juga diambil dari gunung ini. Ketinggiannya mencapai meter di atas permukaan laut. Mongabay Sebagai gunung tertinggi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncaknya adalah sekitar 14 hari. Meskipun begitu pengunjung harus memastikan fisik dan mental sudah kuat karena perjalanannya cukup berat. Pendakian dimulai dari Desa Angusan yang berada di bagian sebelah barat Blangkejeren. 7. Pendakian Gunung Kemiri Gunung Kemiri adalah puncak gunung tertinggi kedua yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser. Ketinggian gunung ini mencapai meter di atas permukaan laut. Pengunjung yang menyukai petualangan alam dapat mendaki puncak gunung ini dengan waktu sekitar lima sampai enam hari. Sepanjang perjalanan pengunjung akan menjumpai berbagai satwa seperti siamang, gibon, dan juga orangutan. 8. Gunung Simpali Puncak gunung lain yang dapat didaki ini berada pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Lama waktu yang dibutuhkan untuk mendaki Gunung Simpali sekitar satu pekan dengan titik awal berada di Desa Engkran, lalu menyusuri Lembah Lawe Mamas. Lembah ini menjadi lokasi habitat dari salah satu hewan langka yaitu badak. Terdapat pula Sungai Lawe Mamas yang mempunyai arus sangat deras, sehingga menjadi tantangan sendiri bagi para pengunjung. Sungai ini bersatu dengan Sungai Alas yang berlokasi sekitar 15 km di bagian utara Kuracane. 9. Gunung Perkinson Salah satu keberuntungan bagi pengunjung yang mendaki ke puncak Gunung Perkinson adalah salah satu titik perjalanan akan dijumpai bunga unik dan langka, Rafflesia. Bunga ini tumbuh di kawasan yang berada pada ketinggian sekitar meter di atas permukaan laut serta hutan lumut yang mempesona. Lama waktu tempuh untuk mendaki puncak gunung setinggi meter di atas permukaan laut adalah sekitar tujuh hari. 10. Lau Pengurukan Lau Pengurukan adalah surga bagi pengunjung yang tertarik menjelajahi gua alam. Pasalnya di kawasan ini ada banyak sekali gua seperti Gua Pintu Air. Gua Pintu Angin yang merupakan gua terpanjang dengan lorong sejauh 600 meter berlubang vertikal. Ada pula Gua Palonglong yang juga mempunyai lubang vertikal, Gua Patu, Gua Pasar, Gua Rizal, Gua Pamuite, dan Gua Pasugi. Cara untuk mencapai lokasi ini jika tidak membawa kendaraan pribadi yaitu dimulai dari kota Medan dengan menumpangi bus jurusan Bukit Lawang. Setelah itu pengunjung dapat menyewa mobil yang biasanya berjenis Jeep Land Rover. Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Dusun Tanjung Naman sekitar satu jam. Setelah itu barulah berjalan kaki menuju Lau Pengurukan kurang lebih dua jam. Gloria Samantha Pembangunan pemukiman baru di sekitar hutan Leuser di Aceh Tenggara, yang diakomodir dalam RTRW Aceh - Taman Nasional Gunung Leuser TNGL menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2014 memiliki luas sebesar hektar yang meliputi 5 kabupaten di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Hutan ini menjadi habitat bagi flora dan fauna yang dilindungi seperti bunga raflesia, anggrek sepatu, orangutan, badak sumatera, harimau sumatera, dan siamang. Namun, hingga 2019, taman nasional tersebut kehilangan hektar luas hutannya. Melansir dari Mongabay, fenomena pengurangan luas hutan di TNGL disebabkan oleh penebangan liar oleh masyarakat sekitar-baik untuk pembalakan kayu maupun untuk perkebunan. Baca Juga Sembuhkan Lingkungan Laut, Para Ilmuwan Punya Rencana Dalam 30 Tahun Fenomena ini tambah berisiko ketika musim kemarau tiba, saat pemilik perkebunan mengalami kekurangan air. Hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat di sekitar TNGL menjadikan kebun ilegal, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. “Hal yang sering terjadi, saat ada masyarakat membuka lahan, mereka tidak dilarang atau ditindak. Namun, saat masyarakat mulai menanam atau hampir panen, baru ada penertiban yang tentunya menimbulkan perlawanan,” terang Samsul bahri, warga Kutacane yang bekerja sebagai petani perkebunan. Pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser BBTNGL, Sudiro, mengatakan bahwa kegiatan pembalakan hutan ilegal sering terjadi, tapi petugas BBTNGL juga beberapa kali melakukan penertiban. Sudiro mengakui bahwa maraknya pembalakan liar disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan TNGL. “Kurangnya pemahaman masyarakat menjadi penyebab terjadinya kegiatan ilegal. Namun, kami tetap berupaya memberikan pengertian,” terangnya. Baca Juga Pegunungan Himalaya Terlihat Dari India, Pertama Kalinya dalam Beberapa Dekade Isu ini juga tidak luput dari pandangan Walhi Aceh yang pernah mendesak untuk pihak setempat untuk menindak kegiatan pembalakan liar. “Aktivitas ini terus terjadi, membuktikan pengamanan dan pengawasan hutan belum maksima. Polda Aceh harus melakukan penindakkan sehingga kayu-kayu dari TNGL tidak lagi ditebang,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur. Ia juga menambahkan bawah pembalakan liar di hutan sekitar TNGL tidak bisa dicegah jika pihak TNGL dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh bekerja sendirian. Perlu adanya upaya gabungan dengan pihak lainnya. “Pengamanan harus benar-benar dilakukan sehingga kegiatan ilegal tidak lagi terjadi,” katanya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan Bukit lawang menawarkan kekayaan ragam hayati taman nasional gunung leuser sebagai cagar biosfer dunia untuk hutan hujan sekitar setengah jam perjalanan dari pinggir sungai, pengunjung akan tiba di sebuah gerbang yang didirikan oleh balai besar taman nasional gunung leuser, sebagai tanda batas sekaligus pintu masuk menuju kawasan hutan. Gerbang ini difasilitasi dengan shelter peristirahatan dan sarana observasi untuk menikmati panorama jauh ke dalam, lapisan demi lapisan vegetasi semakin rapat dan liar. Hutan hujan terkenal dengan pepohonannya yang khas tropis, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, serta berfungsi sebagai habitat terakhir bagi sejumlah mamalia dan primata langka di sumatra. “c’est parti mon kiki,” kata Romy Sahbudin Putra, sang pemandu. Ucapan dalam bahasa Perancis ini kerap terdengar kala perjalanan saya bersama Tim Hutan Itu Indonesia, membelah zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser Leuser, Agustus lalu. Kata itu, dalam bahasa Inggris, dapat diartikan sebagai let’s go–Ayo berangkat! Kata itu diucapkan bak jadi penyemangat. Asal muasal kata ini dari salah satu anggota perjalanan kami, Yoan Mocano, turis asal Perancis. Yoan, salah satu dari sekian banyak wisatawan mancanegara yang saya temui saat menikmati keindahan Leuser. ”Hutan Indonesia itu unik, hutan hujan tropis, saya sangat senang datang khusus menjelajah hutan. Tahun lalu, saya ke Kalimantan,” katanya saat ditanya alasan berlibur ke Leuser. Benar sekali ucapan Yoan. Saya begitu menikmati saat menjelajah Leuser– hutan tropis terbesar di Indonesia ini. Udara segar, pemandangan indah dengan kekayaan keragaman hayati dan mata air nan jernih tiada henti mengalir. Kedondong hutan. Keragaman hayati nan kaya di Taman Nasional Gunung Leuser, baik flora dan fauna. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Keterancaman Saat menikmati sore hari di pinggir Sungai Lawe Gurah, Romy menceritakan keterikatan dia dengan Leuser. Sejak usia sembilan tahun, pria kelahiran Desa Ketambe ini sudah menjelajah Leuser ikut sang kakek. Jiwa petualang, belajar dari alam, maupun menjaga hutan turun temurun di keluarga Romy. Hidupnya memang di alam. Kicauan burung maupun suara binatang lain hingga mesin chain saw gergaji mesin pembalak liar biasa dia dengar. ”Waktu itu, saya lagi memandu wisatawan asing, dengar chain saw. Mereka membawa kayu melewati kita dan burung yang dalam sangkar,” katanya. Kala itu, ketiga anak sang wisatawan berusia lima tahun, 9 tahun dan 15 tahun, menangis. Mereka takut dan sedih melihat hutan mendapat perlakuan seperti itu. Kala itu, awal 2000-an. ”Dia marah mengapa sudah membayar Simaksi, tapi hutan tak dilindungi,” katanya. Romy pun terpukul. Miris. Betapa orang yang jauh-jauh datang demi menikmati alam nan indah, sementara mereka yang berada lebih dekat, malah merusak. Romy pun bertekad menjaga hutan. Dia kuliah di Fakultas Kehutanan di Banda Aceh. “Ancaman TNGL saat ini dari perusahaan-perusahaan. Sawit selalu menang daripada kehutanan dan masyarakat,” katanya. Alasan ekonomi, kata Romy, seringkali jadi pertimbangan para pihak berwenang. Mungkin bagi mereka, menumbangkan pepohonan di hutan atau babat hutan demi pebisnis, lebih memberikan keuntungan dibandingkan menjaga hutan beserta keragaman di dalamnya. “Itu salah.” Dia bilang, alam terjaga bisa memberikan manfaat melimpah bagi manusia. Orangutan Sumatera, salah satu satwa kunci di TN Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Romy contohkan, potensi besar ekonomi dari ekowisata, seperti tempat penginapan, pemandu dan paket wisata arung jeram Sungai Alas dan banyak lagi. Teuku Yaknana Johan, pemilik Wisma Cinta Alam di Ketambe, juga ayah Romy mengatakan, dengan mengelola tempat penginapan, bisa menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Dia mulai terjun ke dunia wisata sejak usia 15 tahun. Hobi arung jeram mengawali debut Johan sebagai pemandu arung jeram. Dia juga memandu melihat satwa liar. Johan berpesan, tak menyia-nyiakan masa muda dengan hal tak berguna, seperti berpesta dan pergi ke mal. Banyak satwa dan tumbuhan kekayaan alam negeri ini yang bisa dinikmati, seperti Leuser. Keunikan Leuser, kawasan ini punya empat satwa kunci, harimau, gajah, orangutan dan badak Sumatera. Wisma Cinta Alam sejak 1986, beberapa tahun setelah peresmian Leuser. Pada 80-an, banyak wisatawan mancanegara datang ke Ketambe untuk melihat orangutan. Kala itu, orangtua Johan membangun penginapan di situ. “Tahun 90-an kami sempat kolaps. Baru 2007, saya mulai bangun wisma ini kembali karena potensi wisata makin baik,” kata Johan. Romy menambahkan, kalau mau bertemu satwa-satwa itu lama waktu kunjung berbeda-beda. Untuk melihat orangutan, katanya, perlu 1-2 hari perjalanan, gajah enam hari, harimau 10 hari, dan badak 14 hari. ”Habitat mereka mulai terancam, jangan sampai makin kritis dan anak cucu hanya mendengar cerita, seperti cerita dinosaurus,” katanya. Pemandangan sekitar TN Gunung Leuser dari penginapan Wisma Cinta Alam di Desa Ketambe, Aceh Tenggara. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia *** Desa Ketambe, satu desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, yang berbatasan langsung dengan Leuser. Kala membuka jendela kamar tempat peristirahatan kami, tampak dari kejauhan perbukitan di Leuser, penuh kabut. Hari itu, 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Perasaan saya campur aduk. Ada rasa kagum, bangga dengan keindahan alam Leuser. Sisi lain, khawatir akan keberlanjutan pelestarian alam Leuser ini. Pukul kami siap jelajah Leuser. Kami memulai dengan mencari jalan memecah ilalang-ilalang yang menutupi jalan setapak, menaiki bukit dengan sekeliling perkebunan nenas masyarakat. Sampai kira-kira sekitar 500 meter, kami sudah berada di perbatasan antara Desa Ketambe dengan Leuser. “Batas Taman Nasional Gunung Leuser,” begitu plang berwarna kuning terpampang pada sebuah pohon, berpagar besi berduri. Satu per satu kami melompat ke sana. Dari situ, kami sudah bisa melihat Sungai Alas. Sungai yang biasa disebut dengan Lawe Alas, terletak dekat penginapan kami. Ia , sungai terpanjang di Aceh yang melintasi Leuser dan mengalir sampai ke Samudera Hindia. Hutan masih alami, berbeda dengan jalur jelajah taman nasional yang biasa saya datangi di Pulau Jawa. Hampir saya tak pernah menemukan sampah sepanjang perjalanan. Suara rangkong, monyet kedih biasa dikenal dengan Thomas leaf monkey menyambut kedatangan kami. Monyet dengan nama latin Presbytis thomasi ini merupakan spesies endemik Aceh dan masuk dalam kategori rentan oleh IUCN Red List. Kuncup bunga Rhizanthes lowii di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Tengah perjalanan menuju tempat berkemah, kami beruntung melihat orangutan Sumatera Pongo abelii betina sedang menggendong anaknya. Dia bergelayutan dari satu ranting ke ranting lain. Berpindah dari satu pohon ke pohon lain. ”Kalian beruntung bisa melihat orangutan hari pertama,” kata Romy. Agustus, bukan musim buah. Kalau mau melihat orangutan biasa harus berjalan lebih jauh. Tanpa disangka, dalam perjalanan tiga hari dua malam, kami melihat tiga kali orangutan. Kami pun menyaksikan bersama dengan wisatawan mancanegara mulai dari anak-anak hingga dewasa. Kami melihat, bak pertunjukkan baik melalui mata telanjang, kamera handphone maupun kamera digital. Kami berpindah mengikuti orangutan kala mereka berpindah, sampai sudah tak lagi kelihatan. Orang utan seringkali muncul saat kami mengamati pucuk pohon. Bila ada yang bergoyang, kemungkinan ada satwa di sana. Bahkan dari tempat kami berkemah, orangutan sempat menyebrang sungai dengan bergelayutan di pohon. Tepian Sungai Gurah, jadi penginapan kelas mewah yang pernah saya inapi seumur hidup. Betapa tidak. Beristirahat sambil menikmati hutan, batu-batuan besar, air jernih, dan berarus sedang. Kita bisa berenang dan bermain air di sana. Selama perjalanan, kami sering mendengar suara beruang madu, owi, trogon, sunbird juga siamang black gibbon. Suara mereka bak lagu alami yang tiada henti mengiringi langkah kaki yang bersentuhan dengan dedaunan. Dekat tempat berkemah, kami pun menemukan salah satu jenis bunga bangkai, Rhizanthes lowii. “Masih satu keluarga dengan tumbuhan Rafflesia. Bentuknya bulat berwarna merah merona. Akan menghitam ketika kekurangan cadangan air.” Bunga itu ditemukan saat mulai menjauh dari sungai. Air terjun di TN Gunung Leuser. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Dalam perjalanan itu, kamipun sering menemukan jamur-jamuran dan tumbuhan liana. Liana ini sangatlah bermanfaat bagi orangutan. “Ia sumber pakan dan sarana penopang pergerakan pindah tempat maupun istirahat,” begitu penjelasan Tatang Mitra Setia dalam jurnal Peran Liana dalam Kehidupan Orangutan. Bentuk melilit atau bergelantungan pada pohon besar– satu ciri hutan hujan tropis. Sekitar 90% liana berada di hutan tropis. Bahkan di Hutan Ketambe, diketahui pada 2009 sekitar 13,55% berupa liana. Bagi saya, begitu banyak manfaat dalam perjalanan tiga hari dua malam di Leuser. Saya belajar bahwa kayu pinus dengan wewangian khas itu ternyata mengandung minyak. “Tidak semua kayu pinus bisa, hanya endemik Aceh. Kalau kita buat api unggun, kita tak memerlukan minyak,” katanya. Ada juga flora unik lain seperti buah beberut. Bentuk bulat seperti terong hijau, warna menguning saat matang dan siap santap. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Mungkin ini kata yang tepat untuk perjalanan kami ini. Sekali pergi, banyak hal kami lihat dan nikmati. Antara lain, permandian air panas Lawe Gurah, bak jacuzzi pool yang ada di Leuser. Di satu aliran sungai ini, kita bisa berlarian dari air panas, hangat atau dingin, sesuai selera. Nikmatnya… Jacuzzi pool ala di Taman Nasional Leuser inipun jadi bonus terakhir perjalanan kami sebelum kembali ke desa. Rasa lelah seperti terbayar tuntas dengan menikmati keindahan Leuser yang tiada tara. Berharap Leuser terus lestari. Jacuzzi pool, permandian pencampuran antara air panas dari dalam bumi dengan air terjun yang mengalir. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Liana melilit dan bergelantungan pada pohon besar. Liana ini sangatlah bermanfaat bagi orangutan sebagai sumber pakan dan penopang dalam pergerakan pindah tempat dan istirahat. Foto Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh aceh, Deforestasi, featured, Hidupan Liar, Hutan Hujan, hutan indonesia, hutan konservasi, hutan lindung, Hutan Rakyat, kerusakan lingkungan, Masyarakat Adat, Perubahan Iklim, Satwa, sumatera

pada hutan gunung leuser terdapat khas hutan